SEMARANG, Joglo Jateng – Dosen Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang (Unnes) Dr Bagus Hendradi Kusuma memberikan penjelaskan terkait polemik SK Kemenkumham JATMAN. Bagus menegaskan bahwa tidak ada SK Kemenkumham PATMAN, yang ada adalah JATMAN (Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh al Mu’tabaroh an Nadliyyah). Menurutnya, sebutan PATMAN adalah karangan oknum-oknum iri hati untuk mem-framing Maulana Habib Luthfi.
“Sudah jelas disebut dalam SK tersebut: SK Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) NOMOR AHU-0007241.AH.01.07.TAHUN 2019 tentang Pengesahan Badan Hukum Perkumpulan Ahlith Thoriqoh al Mutabaroh an Nahdliyyah disingkat JATMAN. Bahkan dalam SK tersebut disebut JATMAN tiga kali, tidak ada sebutan PATMAN” kata Bagus Hendradi Kusuma dalam keterangan yang diterima Joglo Jateng, Jum’at (20/12/2024).
Bagus menyampaikan bahwa setiap organisasi yang ingin di daftarkan ke Kemenkumham memang harus ada tulisan perkumpulan atau yayasan di depan nama badan/organisasi tersebut. Selain itu, Bagus menjelaskan tidak boleh juga memiliki arti yang sama dengan kata perkumpulan atau sejenisnya.
“Jadi ketika nama Jami’iyyah di daftakan ke Kemenkumham maka nama tersebut harus hilang sesuai dengan ketentuan yang berlaku karena memiliki makna perkumpulan,” paparnya.
Praktisi hukum ini juga menjawab terkait polemik tidak disebutnya JATMAN sebagai Badan Otonom (Banom) Nahdlatul Ulana (NU). Sehingga dijadikan tuduhan keluar dari NU.
“Perlu diketahui dengan seksama pendirian SK (Surat Keputusan) suatu badan hukum syaratnya entitas yang ingin jadi badan hukum itu ‘dianggap’ Independen,” lanjutnya.
“Kalau menyebutkan bahwa entitas itu adalah bagian dari Induknya maka entitas tersebut tidak bisa jadi badan hukum. Intinya dalam syarat Kemenkumham tidak boleh ada badan hukum dalam badan hokum. PMII juga mempunyai SK Kemenkumham, juga tidak ada sebutan Badan Otonom NU,” imbuhnya.
Anggota LBH Ansor Jawa Tengah ini juga menyoroti banyak Banom NU yang membuat badan hukum sendiri namun tidak dipermasalahkan.
“Misalnya seperti GP Ansor, ISNU, Muslimat, PMII dan yang lainnya. Di dalam pembuatan badan hukumnya juga sama tidak di cantumkan bagian dari Banom NU. Karena kalau disebutkan maka tidak bisa jadi badan hukum tersendiri. Oknum-oknum sengaja menyerang Abah Luthfi dengan alasan Bahasa hokum, tapi mereka yang tidak mengerti hokum itu sendiri,” ujarnya.
Menurutnya, yang menjadi pertanyaan besarnya adalah kenapa hanya JATMAN yang dipermasalahkan padahal banyak banom yang membuat badan hukum sendiri.
“Padahal JATMAN dengan badan hukum itu tidak pernah menyatakan dirinya keluar dari PBNU. Bahkan di dlm AD/ART JATMAN berbadan hukum itu tidak menyatakan diri bahwa JATMAN tidak menjadikan atau bukan bagian dari PBNU. Bandingkan dengan PMII yang terang-terangan menyatakan keluar dari NU, padahal dia adalah Badan Otonom, tapi tidak pernah ada tindakan apa-apa dari kepemimpinan koherensi,” pungkasnya.
Cinta Tulus Habib Luthfi kepada NU
Sementara itu, KH. Muhammad Said Ridwan dari Ponpes Lirboyo, mengatakan bahwa membangun logika hukum, dengan adanya badan hukum JATMAN maka JATMAN telah keluar dari PBNU, itu interpretasi yang keliru. Padahal secara material dan subtansial JATMAN tidak pernah menyatakan diri keluar dari PBNU.
“Buktinya JATMAN tetap mengajukan perpanjangan masa jabatan ke PBNU. Kalau suratnya dikatakan salah karena dianggap surat pribadi Maulana Habib Lutfi, justru itu bukti adanya iktikad Maulana Habib Lutfi sebagai pimpinan JATMAN menyatakan dirinya sebagai bagian dari PBNU,” jelasnya.
Kiai Said menambahkan, Maulana Habib Lutfi sebagai pimpinan JATMAN tidak mempunyai iktikad JATMAN memisahkan diri dari PBNU, walaupun sudah berbadan hukum. Karena badan hukum JATMAN tidak diniatkan untuk keluar dari PBNU.
“Jika JATMAN pimpinan Maulana Habib Lutfi yang berbadan hukum itu dihukumi oleh PBNU telah keluar dari PBNU, memisahkan diri dari PBNU, maka sudah semestinya PBNU tidak perlu menyatakan diri kepengurusan JATMAN pimpinan Maulana Habib Lutfi telah didemisioner, diambil alih, di-care taker, karena audah berdiri sendiri,” ujarnya.
Di sisi lain, Kiai Wahid dari Boyolali mengaku prihatin dengan kondisi saat ini. Menurutnya, yang sedang terjadi adalah krisis spiritual oknum elit PBNU.
“Sebagai organisasi sosial keagamaan, organisasi para ulama koq terjadi krisis spiritual, krisis keulamaan sebenarnya ironi. Tampilan pimpinan organisasi para ulama ini justru tampil sebagai administratur dan sebagai politisi. Sebagai administratur tidak memberi ampun terhadap ulama tasawuf ahli thoriqoh dengan tuduhan macam-macam, tanpa komunikasi dan silaturahmi yang menjadi ciri khas ulama NU,” tuturnya. (*/gih)