SEMARANG – Kondisi pandemi yang memukul berbagai sendi ekonomi bangsa masih menjadi persoalan yang belum tuntas di Indonesia, bahkan dunia. Hampir seluruh rakyat Indonesia merasakan kesulitan secara ekonomi, tidak terkecuali guru. Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kota Semarang juga ikut prihatin atas kondisi tersebut.
Hal tersebut disampaikan Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kota Semarang, Nur Khoiri, M.T, M.Pd, ketika ditemui di kantornya, Selasa (24/11). Menurutnya, profesi guru yang paling memprihatinkan adalah guru taman kanak-kanak (TK) yang diliburkan saat kondisi pandemi.
“Yang paling miris itu ya guru TK. Karena mereka rata-rata pegawai non-ASN yang mendapatkan gaji dari SPP peserta didik. Sementara kita tahu bersama bahwa TK saat kondisi pandemi kan diliburkan semua. Secara tidak langsung mereka nganggur selama pandemi ini,” ujarnya.
Ia juga menyampaikan bahwa jumlah guru yang non-ASN di Kota Semarang cukup mendominasi secara kuantitas. Mayoritas guru di Kota Semarang merupakan guru yang bukan dari ASN, PNS, maupun Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Segmentasi guru sesuai status kepegawaiannya itu berdampak langsung kepada gaji masing-masing guru. Nur Khoiri mengatakan, untuk guru yang berstatus sebagai ASN, selain mendapatkan gaji pokok juga mendapat Sertifikasi dan Tunjangan Profesi Pemerintah (TPP).
“Pak Walikota dalam hal ini Pemkot sangat concern terhadap guru-guru. Selain gaji pokok ada juga sertifikasi untuk guru yang ASN ditambah TPP yang besarannya berbeda-beda di masing-masing daerah,” jelasnya.
Menyoal guru honorer, menurutnya, guru honorer di Kota Semarang tidak mempermasalahkan soal gaji utama maupun insentif lainnya sebagai guru.
“Memang ada perbedaan gaji dalam hal ini untuk gaji guru honorer yang non UMK. Namun secara keseluruhan alhamdulillah gaji guru honorer di Kota Semarang ini sudah sesuai dengan UMK Kota. Walupun memang ada perbedaan insentif dan tunjangan tadi, itu nggak jadi masalah. Temen-temen guru di Semarang tetep happy dalam mengajar dan tidak mengajar berdasarkan gaji semata,” kata Nur Khoiri.
Ketika disinggung soal masa depan guru honorer, Khoiri mengaku sedang memperjuangkan guru honorer yang telah berumur diatas 35 tahun untuk dapat diterima sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Ia menyampaikan bahwa hal tersebut merupakan concern PGRI dalam pendampingan kesejahteraan hidup para guru.
“Kami sedang usahakan untuk guru honorer yang sudah diatas 35 tahun untuk dapat diterima sebagai PPPK. Karena dalam aturannya kan mereka sudah tidak bisa mendaftar sebagai PNS lagi,” ucapnya.
Kendatipun tidak ada protes dari kalangan guru honorer di kota Semarang, ia tak memungkiri bahwa kesejahteraan guru merupakan komitmen yang harus diperjuangkan. Ia berharap pemerintah kota, provinsi, maupun pusat, dapat lebih memperhatikan lagi kesejahteraan guru, baik yang honorer maupun tidak.
“Salah satu komitmen PGRI adalah mendampingi dan ikut memperjuangkan kesejahteraan guru. Maka kami tetap akan mengutamakan kesejahteraan guru, selain juga mengasah profesionalisme teman-teman guru. Semoga perjuangan kami di-acc sama pemerintah, karena ini kan soal perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan guru,” pungkasnya. (cr2/gih)