Budaya  

Kidung Paramadita: Merangkai Budaya dalam Fesyen Melalui Ageman Amongjiwo

ARTISTIK: Salah satu koleksi Ageman Amongjiwo. (DOK. PRIBADI/JOGLO JATENG)

Oleh: Bestari Rahmawati

Di tengah derasnya arus modernitas, seni tradisional sering kali tersisih. Namun, Kidung Paramadita, seorang pelukis sekaligus finalis Putri Indonesia, membuktikan bahwa tradisi dapat menjadi inspirasi utama dalam fesyen modern. Melalui usaha fesyennya, Ageman Amongjiwo, ia menghidupkan kembali esensi batik dengan sentuhan seni lukis, menghasilkan pakaian unik yang membawa filosofi mendalam.

Mengenalkan Tradisi Lewat Media Baru

Ageman Amongjiwo menggunakan Instagram sebagai salah satu cara untuk memperkenalkan produk dan berinteraksi dengan audiens secara lebih luas. “Kami mencoba mengkomunikasikan esensi produk dengan jujur,” ujar Kidung. Tak hanya itu, platform ini juga menjadi medium untuk memperkenalkan proses pembuatan batik, yang sering kali dilupakan generasi muda. Mulai dari penggambaran dengan lilin, pewarnaan, hingga pelorodan, Kidung menekankan pentingnya memahami proses tersebut sebagai bagian dari nilai budaya.

Menurutnya, algoritma Instagram membantu menghubungkan merek dengan audiens yang memiliki minat serupa. Namun, interaksi tak berhenti di dunia maya. Banyak pelanggan yang datang ke studio atau workshop di Yogyakarta, menciptakan rasa kebersamaan yang lebih personal.

Ageman Amongjiwo: Perjalanan Kreatif yang Sarat Filosofi

Berdiri sejak 2020, Ageman Amongjiwo adalah cerminan harmoni antara seni, budaya, dan keberlanjutan. Terinspirasi oleh keindahan alam dan filosofi Jawa, nama “Ageman Amongjiwo” bermakna “pegangan yang memelihara jiwa.” Filosofi ini diterjemahkan ke dalam setiap karya, di mana setiap goresan kain membawa doa-doa baik dan makna yang mendalam.

Kidung Paramadita, seorang pelukis sekaligus finalis Putri Indonesia saat melukis motif batik di rumah produksi belum lama ini. (DOK. PRIBADI/JOGLO JATENG)

Dalam proses pembuatannya, Ageman Amongjiwo menggunakan teknik pewarnaan manual yang sepenuhnya dilakukan dengan tangan. Proses ini ternyata sangat panjang dan rumit, seperti dijelaskan oleh Kidung, pendiri Ageman Amongjiwo: “Pencelupan kita satu-satu banget, semuanya manual. Misalnya, untuk mendapatkan warna biru tua, bukan berarti kainnya direndam, dijemur, dan ditinggal. Prosesnya panjang; dalam sehari kita hanya bisa melakukan 8 hingga 10 kali pencelupan. Untuk menghasilkan warna yang bagus atau tua, bisa membutuhkan hingga 30 kali pencelupan, yang memakan waktu 3 hari. Dan itu hanya untuk satu warna.”

Proses yang memakan waktu dan tenaga ini mencerminkan kesabaran dan ketelitian yang luar biasa. Hal ini sekaligus mengajarkan bahwa batik bukan sekadar fashion, tetapi juga cerminan filosofi kehidupan yang menghargai proses dan ketekunan.

Setiap motif yang dihasilkan memiliki cerita unik. Beberapa motif diciptakan secara spontan, sementara yang lain melalui diskusi panjang dengan pelanggan. “Kadang, sebelum membuat kain, ada tirakat atau ritual tertentu yang kami lakukan,” tambah Kidung. Ini menunjukkan betapa eratnya keterkaitan antara seni, budaya, dan spiritualitas dalam setiap karya Ageman Amongjiwo.

Tidak hanya fokus pada nilai budaya, Ageman Amongjiwo juga memiliki komitmen tinggi terhadap keberlanjutan. Industri fashion dikenal sebagai salah satu penyumbang limbah terbesar, terutama kain. Untuk mengurangi dampak ini, Ageman Amongjiwo menghadirkan koleksi limited edition yang dirancang multifungsi, sehingga dapat digunakan dalam berbagai kesempatan. “Kami ingin sama-sama belajar dan berkontribusi untuk bumi, termasuk meningkatkan kesadaran tentang dampak fashion terhadap lingkungan,” jelas Kidung.

Bagi Ageman Amongjiwo, setiap karya adalah perjalanan panjang yang menghidupkan esensi batik dalam balutan kreativitas. Ini adalah upaya nyata untuk menyatukan seni tradisional, keberlanjutan, dan filosofi hidup dalam harmoni yang indah.

Menghubungkan Seni Tradisional dengan Fesyen Modern

KHUSYUK: Prosesi syukuran series ke 2 sudut pandang, dalam rangkaianya masih memakai tata cara jawa untuk syukuran. (DOK. PRIBADI/JOGLO JATENG)

Kidung menyadari bahwa salah satu tantangan terbesar adalah mengubah stigma bahwa batik hanya cocok untuk acara formal. Oleh karena itu, Ageman Amongjiwo menghadirkan desain yang fleksibel, cocok untuk berbagai kesempatan, dari acara santai hingga formal. Dengan gaya yang lebih modern, produk ini diharapkan dapat menarik generasi muda untuk lebih mencintai batik.

Teknologi digital juga memainkan peran penting dalam pengembangan merek ini. Canva dan Photoshop digunakan untuk menciptakan konten visual yang menarik, sementara film eksperimental dan kolaborasi dengan seniman lain membantu memperkuat narasi filosofis produk. Misalnya, dua seri video bertajuk “Gelombang Hidupku” dan “Sudut Pandang” memberikan pengalaman baru kepada audiens, menggabungkan seni visual dengan musik.

Masa Depan Ageman Amongjiwo

Kidung percaya bahwa kejujuran adalah kunci dalam menciptakan produk yang berkesan. “Kami tidak mengejar tren, melainkan ingin menghadirkan nilai budaya batik dalam setiap produk kami,” katanya. Meski saat ini distribusi masih bergantung pada Instagram, ke depan, Ageman Amongjiwo berencana meluncurkan situs web sebagai langkah ekspansi.

Dengan menggabungkan seni tradisional, filosofi Jawa, dan teknologi modern, Ageman Amongjiwo bukan hanya sekadar merek fesyen. Ia adalah perwujudan dari upaya melestarikan budaya dengan pendekatan yang sederhana namun bermakna. Melalui karya-karyanya, Kidung menyampaikan nilai batik sebagai cerminan budaya, rasa syukur atas kehidupan, dan kepedulian terhadap bumi serta diri kita sendiri. (*)