KUDUS, Joglo Jateng — Sejumlah petani di Desa Undaan Lor, Kecamatan Undaan mulai mempertimbangkan kembali untuk menanam padi. Setelah harga ketan mengalami penurunan drastis tahun ini.
Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gakpotan) Desa Undaan Lor, Darwoto mengatakan, para petani di wilayahnya mulai beralih menanam ketan sejak 2017. Alasannya, saat itu harga ketan mencapai Rp 10.000 per kilogram. Jauh lebih tinggi dibanding padi yang hanya Rp 6.100 per kilogram.
“Produksi ketan bisa 8 sampai 9,5 ton per hektare. Sedangkan padi maksimal 7 ton. Secara pendapatan juga lebih besar, kalau panen ketan bisa Rp 70 juta per hektar, sementara padi sekitar Rp 51 juta,” jelas Darwoto.
Namun, ia mengungkapkan tahun ini harga ketan anjlok menjadi Rp 6.000 hingga Rp 6.400 per kilogram. Di sisi lain, harga padi justru naik menjadi Rp 6.700 hingga Rp 6.800 per kilogram. Kondisi ini membuat petani mulai berpikir ulang.
Mereka merasa pendapatan dari ketan tak lagi jauh lebih unggul dibanding padi. Bahkan cenderung merugi karena biaya produksi ketan relatif lebih tinggi.
“Untuk tahun ini justru padi lebih unggul, meski produksinya lebih sedikit,” tambahnya.
Sementara itu, Anggota Komisi B DPRD Kudus, Budiyono menilai perubahan pola tanam petani ini juga dipengaruhi kebijakan pemerintah yang menetapkan harga gabah kering panen (GKP) sebesar Rp 6.500 per kilogram. Menurutnya, intervensi harga dari pemerintah sangat penting agar petani tidak semakin terpuruk.
“Dulu petani di sini beralih ke ketan karena harganya lebih tinggi. Tapi sekarang pemerintah sudah tetapkan harga padi, saya kira ini bisa mengubah pola tanam petani, sekaligus menjaga ketahanan pangan,” katanya.
Ia berharap pemerintah terus berpihak pada petani. Baik melalui penetapan harga yang layak, pemberian subsidi pupuk, hingga kebijakan lain yang bisa membantu meningkatkan kesejahteraan petani.
“Petani ini pejuang pangan. Jangan sampai mereka tidak bisa menikmati hasil jerih payahnya,” pungkasnya. (uma/fat)