Oleh: Ajeng Triyani
Wakil Ketua 1 DPRD Kabupaten Pemalang
SECARA historis, problematika terkait perempuan belum selesai. Hingga kini, pembahasan tentang perempuan juga masih terus berlanjut. Bahkan tidak sedikit pula hasil kajian tentang perempuan yang menyebutkan bahwa perempuan dan anak masih tergolong kelompok rentan. Kemiskinan, konflik, dampak bencana alam, adalah beberapa masalah yang kerap dialami oleh perempuan. Bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain di seluruh dunia.
Di era yang katanya “setara” kini, stereotip masyarakat tentang perempuan masih kerap dianggap masyarakat kelas kedua atau yang biasa disebut kelas subordinat. Alhasil, perempuan dinilai hanya becus dalam hal-hal yang sifatnya domestik rumah tangga. Hal tersebut menjadikan perempuan tidak memperoleh persamaan hak dengan laki-laki.
Padahal, perempuan bisa menjadi aktor strategis dalam berbagai hal. Dewasa ini, perempuan mulai berhasil membuktikan bahwa keberadaan mereka sangat layak untuk diperhitungkan. Kecerdasan dan kepiawaian perempuan tidak bisa dilihat sebelah mata, karena perempuan juga turut berkontribusi terhadap pembangunan.
Di sektor politik misalnya. Meskipun tidak semua perempuan yang berkecimpung di bidang politik dapat mengambil keputusan-keputusan strategis, namun setidaknya, mereka mampu merepresentasikan kehadiran serta menyuarakan aspirasi perempuan di level kebijakan pemerintah.
Menurut survei Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada 3 Maret 2023, jumlah keterlibatan perempuan dalam parlemen mengalami peningkatan. Di Jawa Tengah, di tahun 2021 keterlibatan perempuan sebanyak 18,33 persen dan meningkat menjadi 20 persen di tahun 2022. Di Kabupaten Pemalang sendiri, jumlah keterlibatan perempuan dalam parlemen di tahun 2021 hingga 2022 berjumlah 32 persen.
Menurut data BPS di level nasional, ada kabupaten/kota yang jumlah parlemennya hampir setengahnya diisi oleh perempuan, seperti di Minahasa dengan jumlah 48,57 persen, di kabupaten Asmat dengan jumlah 47,06 persen, serta di Kolaka timur, kota Tomohon, dan kota Manado dengan jumlah 40 persen.
Selain keterlibatan perempuan dalam parlemen, angka Indeks Pembangunan Gender (IPG) juga mengalami peningkatan. Tercatat, jumlah IPG di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2021 jumlah IPG sebesar 92,48 persen dan meningkat di tahun berikutnya menjadi 92,83 persen.
Hal serupa juga terjadi di Kabupaten Pemalang, di mana angka IPG di tahun 2021 sebesar 86,49 persen meningkat menjadi 86,72 persen di tahun 2022. IPG yang mendekati 100 itu secara jelas mengindikasikan bahwa semakin kecil kesenjangan pembangunan antara laki-laki dan perempuan.
Sementara itu, Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) Indonesia pada 2022 berada pada level 76,59%, meningkat dibandingkan dengan IDG 2021 yang sebesar 76,26%. Keterlibatan perempuan Indonesia yang terukur dalam indikator pemberdayaan ini menunjukkan bahwa secara nasional tingkat keaktifan perempuan dalam kehidupan ekonomi dan politik sudah cukup tinggi.
Di Jawa Tengah sendiri, jumlah IDG berada di angka 71,64 persen di tahun 2021 dan meningkat menjadi 73,78 persen pada tahun 2022. Kabupaten Pemalang juga menjadi salah satu daerah yang jumlah IDG-nya tertinggi di Jawa Tengah, yakni sebesar 81,27 persen pada tahun 2021 dan meningkat menjadi 81,57 di tahun 2022. IDG tersebut merupakan indikator yang menunjukkan bahwa perempuan dapat memainkan peranan aktif dalam kehidupan ekonomi dan politik.
Keterwakilan Perempuan
Keterwakilan perempuan dalam ranah politik di Indonesia sebenarnya sudah diatur oleh undang-undang. Dalam Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik, mengatur bahwa pendirian dan pembentukan partai politik menyertakan 30 persen keterwakilan perempuan.
Hal tersebut berlanjut dalam Pasal 245 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur bahwa daftar bakal calon memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen. Selain itu, negara juga menerapkan zipper system yang diatur dalam Pasal 246 ayat (2) bahwa di dalam daftar bakal calon, setiap tiga orang bakal calon terdapat paling sedikit satu orang perempuan bakal calon.
Berangkat dari klausul kebijakan afirmasi gender tersebut, seharusnya keterlibatan perempuan dalam ranah politik tidak hanya sebatas retorika belaka. Keterlibatan perempuan dalam politik bisa memunculkan politik ide dan politik yang transformatif. Melalui perempuan, kebijakan-kebijakan yang pro-gender bisa diwujudkan.
Kehadiran perempuan di meja-meja pengambilan keputusan diyakini dapat menekan agenda hegemoni maskulinitas dalam ruang politik. Karena itu, perempuan perlu dilibatkan menjadi pengambil keputusan yang bukan hanya menjadi perwakilan deskriptif, melainkan juga substantif.
Kendati demikian, upaya untuk membatasi keterlibatan perempuan dalam ranah politik tampaknya juga masih kentara di Indonesia. Meskipun sudah direvisi, PKPU pasal 2 ayat 8 nomor 10 tahun 2023 yang mengatur bahwa jika dalam hal penghitungan 30% (tiga puluh persen) jumlah Bakal Calon Perempuan di setiap Dapil menghasilkan angka pecahan, dilakukan pembulatan ke atas adalah bukti pembatasan perempuan untuk terlibat dalam kegiatan politik praktis.
Dalam bukunya yang berjudul Politik, Partai Politik, dan Perempuan: Frontstage dan Backstage (2020), Imron Sawi menjelaskan bahwa kehadiran perempuan dalam ranah pengambilan keputusan berguna untuk mengatasi kesenjangan akses, hak, dan peran perempuan. Artinya, perempuan dalam politik menjadi penting untuk mewujudkan demokrasi yang lebih inklusif.
Bahkan, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga turut menekankan pentingnya partisipasi dan kesetaraan kesempatan bagi perempuan dalam bidang politik melalui Sustainable Development Goals (SDGs). Di mana dari 17 goals dalam tujuan pembangunan berkelanjutan itu, PBB menempatkan kesetaraan gender pada tujuan kelima.
PBB juga mendorong partisipasi penuh dan efektif, serta kesempatan yang sama bagi perempuan untuk memimpin di semua tingkat pengambilan keputusan dalam kehidupan politik, ekonomi, dan masyarakat. Hal itu dilihat dari dua indikator, yakni proporsi kursi yang diduduki perempuan di parlemen nasional dan pemerintahan daerah, serta proporsi perempuan dalam posisi manajerial.
Berdasarkan data dan analisis tersebut, seharusnya pemerintah dan negara bisa menjamin keamanan hak-hak politik serta memberikan akses seluas-luasnya kepada setiap perempuan sesuai dengan nilai-nilai demokrasi yang berasaskan Pancasila. Dengan demikian, perempuan tidak akan ragu untuk terjun ke dalam dunia politik dan turut serta dalam proses pembangunan nasional. (*)